Sebut saja namanya tegar, bocah cilik yang ketika diwawancarai tahun 2013 baru berusia 11 tahun.
Dilihat sekilas dari fisiknya tidak ada yang istimewa dari anak ini,
seperti anak kecil lain pada umumnya. Namun jika dilihat dari mentalitas
kejiwaan, dia jauh lebih dewasa, mungkin 2 kali lebih tua dari usianya.
Putus sekolah karena ketidakadaan biaya memisahkan dirinya dari dunia
yang seharusnya, dunia anak yang penuh canda tawa, bermain riang tanpa
beban, dan menikmati tahap demi tahap setiap proses menuju kekedewasaaan
pribadinya lalu mencari uang dan menjadi tulang punggung
keluarganya,menjadi pengamen.
Tidak ada yang yang salah dengan pekerjaan mengamen, menjemput rizki
halal dengan berjualan suara jauh lebih terhormat daripada mereka yang
berdasi, bersidang bernegosisi dan tawar menawar memperjualbelikan
rakyat, atas nama rakyat dan untuk rakyat. “rakyat yang mana?”, aku
bertanya,”rakyat yang satu geng dengan mereka yang sama sama korup itu?
Atau rakyat yang sudah mengalirkan dana ke beberapa rekening mereka?”,
di negeri ini semua orang adalah rakyat !
Memang tidak ada yang salah dengan pekerjaan ngamen, namun jika kita
mengkaji dan mempelajari pola dan gaya hidup pengamen ini akan menjadi
sesuatu yang menarik. Berpindah dari satu bis ke bis lain, dari satu
terminal ke terminal lain, dari satu toko ke toko yang lainnya. Kita
memikirkan nanti siang makan lauk apa, nanti malam makan di warung mana,
sedangkan otaknya bertanya,”nanti siang bisa makan atau tidak ya ?”.
Ahh, Saya yakin tidak hanya ada satu Tegar saja di Indonesia, masih ada
10, 100, bahkan mungkin 1,3 juta lebih anak yang sama nasibnya dengan Si
tegar.
Hati
saya miris jika mengaitkannya dengan pasal-pasal yang terdapat dalam UU
yang tertulis dengan begitu indahnya. Izinkan saya menuliskan
kalimat-kalimat mulia itu:
PASAL 31
- Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan
- Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
PASAL 33
Ayat 3: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
PASAL 34
Penulis baru menuliskan satu buah kasus, belum kasus-kasus yang lainnya.
Setiap warga berhak mendapatkan pendidikan ini maksudnya pendidikan apa ?
Pendidikan
melalui sekolah, kuliah, ataukah pendidikan seperti Si Tegar? Belajar
bijaksana dan mendewasakan dirinya diusianya yang belia
Lalu
pemerintah wajib membiayainya, melalui apa pemerintah membiaya
pendidikan ngamen Tegar, kepada siapa pemerintah membayarkan uang SPP
nya, wong tegar sendiri sibuk menyambunghidupnya
Seperti apa bentuk pemeliharaan negara atas fakirmiskin dan anak terlantar?
Jika
undang-undang dibuat seedar untuk menyamankan hati rakyat, dan sekedar
program tanpa aksi maka ini akan sangat melukai dan menyakitkan hati
yang membacanya. Lebih baik dihapuskan saja.
Atau jangan jangan pasal 34 kurang lengkap:
Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara seperti memelihara ayam, kambing, sapi dan atau kerbau ?
Kos-kosan 10 oktober 2014, 06:43 wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar